Yang Terjadi itu Bukan Sekedar Bencana Alam, tapi Mengukur Sebuah Komitmen.

Arosukapost.com – Dharmasraya.Sepanjang tahun 2024 ini, tanah longsor dan banjir bandang merupakan musibah yang dominan, merata terjadi hampir di 19 kabupaten/ kota di provinsi Sumbar. Selain itu, gempa bumi dengan istilah mengathrust ( daerah pertemuan antar lempeng tektonik bumi yang berpotensi memicu gempa kuat dan tsunami dahsyat) terus mengintai yang bisa setiap saat menyapu Ranah Minang ini. Bukan suatu hal yang bisa dan tidak bisa dianggap remeh.

Sementara, jika itu memang terjadi taruhannya adalah nyawa manusia, buktinya saat ini di beberapa titik bajibaku banjir bandang, longsor dan pohon tumbang dan sebagainya. Puluhan nyawa , bahkan sampai ratusan sudah melayang, belum lagi kerugian materil yang tak sedikit menggerogoti manusia.

Seiring dengan musim penghujan seperti saat ini, desakan alam terus menguat dan manusia hanya sebisanya untuk dapat bertahan, merasa khawatir dan diselimuti dengan rasa takut yang berlebihan menghantui akibat kejadian yang telah melanda negeri ini.

Tentu sebagai manusia kita yakin dan percaya, bencana bukan datang kali ini saja. Di tahun tahun sebelumnya juga begitu, sama juga terjadi, dan diprediksi jika tidak ada penanganan yang lebih serius dari pemerintah , maka di tahun depan hal serupa akan terus kita derita. Akan kah begitu , tapi sampai kapan …entah lah.

Namun, kita percaya bencana bukan datang dengan sendirinya, apalagi bencana dengan yang berhubungan dengan respon alam , campur tangan manusia sangat mungkin terjadi, baik itu sebagai penyebab maupun sebagai obat penawar, agar kebodohan serupa tidak terulang.

Baca juga :  Dampak Buruk dari Meningkatnya Emisi Pembakaran Kendaraan

Dilihat dari tipologinya, bencana yang rutin menimpa daerah Sumbar saat ini, sebetulnya kalaborasi faktor manusia dan alam yaitu banjir, termasuk banjir bandang dan tanah longsor. Ini salah satu fonomena yang cukup banyak memakan korban, dan bisa dipastikan bukan karena fenomena alam semata, seperti gunung meletus atau gempa bumi.

Jenis ini, sebetulnya bisa dicegah atau diantisipasi, asalkan ada upaya bersama yang kompherensif. Soalnya, diberbagai belahan daerah yang rawan bencana menunjukan bahwa aspek manusia dan kebijakan merupakan hal yang mendasar dalam menyikapi hal tersebut.

Untuk kedepannya hal serupa agar tidak terulang lagi tentu semua kita harus kembali ke gagasan awal yaitu komitmen. Ini, kunci penting yang ada pada kata- kata tersebut, seberapa kuat komitmen para pihak untuk sadar bahwa masalah ini, ulah manusia karena keserakahannya.

Selagi komitmen itu dikaburkan atau di “politisir ” dengan berbagai macam alasan , dan selama itu pulalah masyarakat akan menerima dertanya. Bak seperti pepatah Minang Kabau alam takambang jadi guru, dari rangkaian kata- kata ini sudah sangat jelas dibuat oleh orang – orang pendahulu , punya makna dan kiasan.

Karena, bumi tempat kita pijak ini adalah guru terbaik dan jangan sesekali berbuat jahat terhadap sang guru. Sebab, kemarahan guru akan senantiasa datang dan pergi silih berganti. Manusia, sebagai mahkluk ciptaan Allah SWT seringkali mencari alasan dan terkesan tidak ada sedikitpun rasa bersalah.

Baca juga :  Pandangan Filosofis "Pasti ada harapan" : Cermin Masa Kini, dan Mimpi Masa Depan.

Ini, merupakan kunci awal perlu diturunkan menjadi aspek konkrit dari komitmen yang ada. Tentunya kitaelakukan restrukturilisasi lahan dan wilayah yang menjadi titik – titik bencana. Atau semisal daerah yang terdampak serius. Faktanya banyak praktek- praktek negatif bahkan ilegal dilakukan diwilayah ini, kalaupun praktek itu legal, akan tetapi tetap saja memberikan dampak yang serius bagi kehidupan masyarakat.

Dan karena itu, lakukan restrukturasi. Artinya untuk mengembalikan struktur lahan dan wilayah pada posisi yang lebih aman. Hal ini, bisa dilakukan jika ada komitmen dan implementasi kebijakan serius dan berani. Bisa saja akan di tentang, karena bersinggungan dengan kepentingan banyak pihak. Dan disitulah keberanian dan komitmen dibutuhkan.

Dan selanjutnya harus menemukan dan menciptakan alternatif – alternatif pembukaan objek ekonomi masyarakat yang tidak bertentangan dengan keinginan mengamankan wilayah dari bencana. Jika kita lihat hampir semua kasus banjir dan longsor bermula karena rusaknya tantanan hutan dan ekosistim. Ini, sangat berhubungan dengan aspek ekonomi masyarakat.

Soalnya, melarang bukan solusi, perlu melarang ,tapi carikan solusinya. Bak seperti pepatah Minang kabau ” lamak dek awak katuju dek urang.Nah, siapa yang bisa melakukan itu..? tentu tangan pertama yakni pemerintah dan jajarannya dan unsur lainnya termasuk masyarakat itu sendiri. Oleh wartawan muda Syafri Piliang. (SP)