Sumbar  

Kisah Syeh Muksin / Angku Tampek Supayang Penyebar Agama Islam

Arosukapost.com – Kira kira tahun 1020 H Lahirlah Seorang anak yang bernama Sitarapang,Dari Seorang Ibu yang bernama Ibu Ruminah dan Ayah yang bergelar Katik Sampono.Lahir Disebuah Taratak kecil yang disebut Data( Supayang Sekarang).

Beliau Mempunyai dua orang saudara, satu Laki dan satu perempuan, beliau merupakan anak ke 3 dari 3 Bersaudara. Yang pertama Perempuan Bernama Ruwiyah (Nyiek Putiah) Dan Saudara kedua laki laki bernama Muchsan.

Pada masa itu orang tua beliau bekerja bertani dan memelihara ternak. Beliau (muchsin) dan saudara beliau (Muchsan) membantu orang tua sebagai pengembala ternak.

Pada suatu Masa kakak beliau yang bernama Muchsan Menghilang entah kemana. Seiring dengan berjalannya waktu Umur beliau bertambah hingga mengijak remaja beliau berniat untuk menuntut ilmu ke Aceh, dengan perjalanan melalui Padang Panjang dan di sana beliau bertemu dengan beberapa orang yang kemudian menjadi sahabat.

Sahabat yang pertama bernama Maruhun Panjang dari Padang Panjang, sahabat yang kedua bernama Muhammad Natsir dari nagari Koto Tangah Lubuak Buayo dan sahabat yang ketiga bernama Sio buyuang Mudo dari Nagari Bayang Puluik puluik

Berangkatlah beliau dengan sahabatnya menuju Aceh, lebih kurang tahun 1038 H, untuk menuntut ilmu. Sesampai di aceh beliau dan sahabat belajar di surau Engku Syeh Abdul Rauf.

Beliau belajar ilmu tarikat, tasauf dan ilmu fiqh, Serta guru beliau yang bernama Engku Ahmad Kusasih Dari Madinah, Beliau dan sahabat beliau menuntut ilmu di aceh selam 30 tahun.

Setelah itu beliau dan shabat beliau pulang ke kampung masing masing untuk menyebarkan ajaran islam. Ketika beliau mencoba menyebarkan ilmu yang telah beliau pelajari di Aceh terjadilah benturan benturan Antara Aturan aturan Adat dan aturan aturan ajaran islam.

Seorang ulama kharismatik pernah memperoleh ilmu dari seorang guru di Aceh dan kemudian pulang ke kampung halamannya di Padang Pariaman, Sumatera Barat. Namun, banyak orang di kampung halamannya yang masih sulit menerima ajaran barunya.

Untuk mengatasi hal tersebut, beliau kembali ke Aceh untuk menemui guru lamanya. Setelah bertemu, guru tersebut menyuruhnya untuk menemui sahabatnya bernama Syeh Burhanudin, yang ternyata telah menerima semua buku ajaran dari guru tersebut.

Syekh Burhanudin kemudian menjadi gurunya selama 10 tahun di mana sang ulama kharismatik belajar dan menuntut ilmu dari Syekh Burhanudin. Tempat Syekh Burhanudin nama dijuluki sebagai tempat ulakan yang artinya tempat di mana ia telah menerima banyak pelajaran dari guru besar tersebut.

Setelah menimba ilmu dari Syekh Burhanudin di Aceh, sang ulama kharismatik kembali ke kampung halamannya di Supayang, Sumatera Barat. Dengan semangat yang menggebu, beliau mulai menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Setelah berhasil mengislamkan masyarakat setempat, sang ulama kharismatik melihat bagaimana lingkungan sekitarnya dapat dimanfaatkan untuk pertanian.

Oleh karena itu, beliau mengajak masyarakat setempat untuk bekerja sama membuat saluran irigasi dari sumber air menuju tempat-tempat yang bisa dijadikan sebagai lahan pertanian. Kerja sama ini berhasil membawa perubahan signifikan bagi wilayah Supayang, yang semakin maju dan makmur dari sebelumnya.

Dalam masa membuat saluran irigasi tersebut ada sebuah batu besar yang menghalangi saluran irigasi dan dengan keramat beliau beliau menembus batu tersebut dengan tongkat beliau dan sampai sekarang batu tersebut di sebut batu bagiriek.

Beliau melanjutkan perjalanannya dan bertemu dengan seseorang yang membawa hasil sadapan dari pohon aren. Orang tersebut menyandarkan hasil sadapannya pada sebuah batu dan menjawab bahwa dirinya membawa air nira. Namun, sang ulama kharismatik mengajukan pertanyaan dengan tersenyum dan bertanya apakah yang dibawa orang tersebut adalah nira atau tuak.

Orang tersebut menjawab bahwa yang dibawanya adalah nira, namun sang ulama kharismatik kembali bertanya dengan tersenyum, hingga tiga kali, hingga orang tersebut mengetahui bahwa yang ia bawa adalah tuak, bukan nira seperti yang dijelaskannya.

“Apa yang anda bawa”? Dan orang tersebut menjawab air nira, dan beliau bertanya kembali sambil tersenyum “nira apa tuak ? orang tersebut menjawab kembali “nira Ngku” sampai beliau bertanya sampai tiga kali.

Orang tersebut menyandarkan tuak tersebut di batu, rupanya yang di bawa tersebut adalah tuak dan sampai sekarang batu itu bernama batu sandaran tuak,

Baca juga :  Bupati Dharmasraya Serahkan Remisi Umum kepada 192 Narapidana

Setelah bandar (saluran irigasi) selesai dibuat, masyarakat sekitar sepakat untuk membantai kerbau di hulu bandar tersebut. Acara ini dihadiri oleh seluruh unsur niniak mamak dan bundo kanduang, serta masyarakat sekitar. Dan acara yang berlangsung setiap tahunnya ini masih dilaksanakan hingga sekarang.

Tradisi ini menceritakan kisah tentang kesepakatan bersama dalam memajukan sebuah daerah. Masyarakat sekitar yang menyadari pentingnya air irigasi untuk sawah dan padi, tidak hanya membuat saluran yang dibutuhkan, tetapi juga menentukan peraturan tentang penggunaan saluran tersebut agar lebih adil. Mereka berusaha mencapai kesepakatan di mana kerbau dihulu bandar akan dibantai untuk memberikan makanan pada acara tahunan bersama.

Setelah menyelesaikan pembuatan saluran irigasi dan membantai kerbau di hulu banda, masyarakat di sekitar surau dan Supayang merasa bersyukur atas hasil yang telah mereka dapatkan dari ladang dan sawah mereka. Untuk memperkuat rasa syukur dan saling berkolaborasi, mereka mengadakan potong kambing sebagai bentuk rasa syukur mereka atas rahmat yang telah Allah berikan kepada mereka.

Setelah tiga tahun menyebarkan ajaran Islam di Supayang, sang ulama kharismatik merasa yakin bahwa ia telah memenuhi tugasnya dalam menyebarkan ajaran agamanya di wilayah tersebut. Maka, dengan semangat yang sama, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Sijunjung.

Beliau bertekad untuk mengajarkan dan memperkenalkan Islam kepada seluruh penduduk di daerah tersebut. Melalui kesabaran dan kebijaksanaannya, beliau berhasil membuat masyarakat Sijunjung menerima ajaran Islam dan menjadi bagian dari masyarakat Islam yang lebih luas di Sumatera Barat.

Sampai saat ini, masih terdapat tongkat dan sorban beliau di daerah tersebut sebagai bukti jejak seorang ulama dalam menyebarkan ajaran agama di wilayah itu. Jejak beliau ini merupakan bukti betapa kuatnya tekad dan semangat seorang ulama untuk mengajarkan agama kepada masyarakat, tanpa memandang suku, agama, atau budaya mereka.

Setelah berhasil mengislamkan seluruh penduduk di Sijunjung, sang ulama menetap di rumah gadang bawah mengkudu di bawah perlindungan suku Caniago. Di sekitar tempat itu, beliau membangun sebuah kolam ikan (tabek) yang dinamai Tabek Pudak dan melepas seekor ikan di dalamnya.

Ikan tersebut kemudian dibelah menjadi dua bagian, di mana satu bagian dimasak dan bagian lainnya dilepas ke dalam tabek sebagai tanda rasa syukur masyarakat atas rejeki yang diberikan. Selain itu, terdapat pula batu keramat yang disebut batu kato atau batu tabonek yang dihormati oleh sebagian masyarakat Sijunjung.

Tradisi membantai kerbau setiap tahun di sekitar Tabek Pudak hingga saat ini dilakukan oleh masyarakat Sijunjung sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan ulama kharismatik tersebut. Kehadiran sang ulama membawa banyak pengaruh positif bagi masyarakat Sijunjung dan menjadikan tempat tersebut sakral serta menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi masyarakat setempat.

Setelah berhasil mengislamkan semua penduduk di Sijunjung, Angku Syeh Muhksin kembali ke kampung halamannya, Data Supayang. Beliau memulai perjalanannya pada waktu subuh dan perjalanan yang dilakukan adalah memudikkan Batang Kaloko.

Saat sedang melaksanakan shalat zuhur, beliau dihampiri oleh seekor harimau yang berniat menerkamnya. Namun, atas kehendak Tuhan dan keramat beliau, harimau tersebut tidak bisa bergerak sampai beliau selesai melaksanakan salat. Setelah beliau selesai salat, beliau bertanya kepada harimau tersebut apakah ia ingin ditobatkan, dan harimau tersebut mengangguk.

Melalui keajaiban yang diberikan oleh Allah, harimau tersebut berubah menjadi manusia setelah ditobatkan oleh beliau. Lalu, beliau dan rombongan serta manusia yang dulunya adalah seekor harimau tersebut pergi bersama-sama menuju kampung Data Supayang.

Saat sampai di puncak sebuah bukit, seorang murid beliau merasa haus sementara mereka tidak membawa persediaan air. Dalam situasi yang sangat sulit, beliau menancapkan tongkatnya ke tanah dengan menyebut nama Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Kemudian keluar air dari dalam tanah di tempat pojokan tongkat beliau.

Tempat tersebut sekarang dikenal sebagai Aie Tabik dan menjadi saksi sejarah kekuasaan Allah atas kehidupan umat Islam di masa lalu. Setelah para murid beliau minum beliau meneruskan perjalanan munuju supayang dan meneruskan mengembangkan ajaran islam sampai berkembang.

Baca juga :  Tentang Penyampaian KUA - PPAS 2024 Kab Solok

Awalnya, Syeh Muchsin bertemu dengan seorang harimau dan berhasil menobatkannya sampai masuk agama Islam. Harimau tersebut lalu dijadikan murid dan diberi nama Syeh Kukut. Bersama-sama, mereka melakukan perjalanan untuk menyebarkan agama Islam dan mengajar ilmu silat.

Setelah tiba di Gantung Ciri, Syeh Muchsin dan Syeh Kukut berusaha menyebarkan ajaran Islam di tengah-tengah daerah yang sedang meraja lela perjudian, yaitu di Pandan dan Salayo. Mereka juga mendirikan sebuah sasaran silat di sana dan mulai mengajarkan ilmu agama dan ilmu silat kepada siapa saja yang ingin belajar. Banyak orang yang tertarik dan ingin belajar dari mereka.

Di bawah bimbingan Syeh Muchsin dan Syeh Kukut, banyak sekali orang yang menjadi ahli ilmu agama dan ilmu silat. Mereka menjadi terkenal di daerah tersebut dan dikenal sebagai orang-orang yang membawa perubahan positif di tengah-tengah masyarakat.

Pada suatu malam, Syeh Kukut diuji oleh para guru silat di suatu tempat. Para guru tersebut mencoba meremehkan keberanian Syeh Kukut dan menguji keterampilannya dalam ilmu silat. Selama pengujian, Syeh Kukut menunjukkan kemampuan dan keberaniannya yang luar biasa, membuat para guru silat tersebut terkesima.

Namun, pengujian ini tidak berakhir di situ saja. Di tengah malam, Syeh Kukut mengangkat sebuah batu besar dan dengan lugas dan tegas menegaskan, “Barang siapa yang tidak bersedia tobat akan saya timpa dengan batu ini.”.

Batu tersebut hingga kini masih tergantung di dekat Masjid Lubuk Sikarah. Kehadirannya sebagai saksi bisu kesederhanaan seorang guru agama dan ilmu silat yang tetap teguh pada kepercayaannya atas kebaikan dan penegakan keadilan.

Syeh sedang memangkas rambut di daerah Limau Lunggo ketika mendengar kabar bahwa Mekah terbakar. Kepada panggilannya untuk membantu, Syeh segera pergi ke Mekah untuk membantu memadamkan api.

Syeh tiba di Mekah tepat waktu sebelum shalat Jum’at, membantu umat Islam di sana memadamkan api yang membakar kota suci tersebut. Setelah api berhasil di padamkan, Syeh segera pulang kembali ke tempat tinggalnya.

Saat Syeh tiba kembali di tempat asalnya, banyak yang mencemooh dan ragu akan kisah perjalanannya, karena merasa bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi. Namun, kisah ini baru dipercaya setelah ada orang yang pulang dari Mekah dan mengkonfirmasi bahwa yang memadamkan api adalah orang yang kepalanya baru di pangkas sebagian kepalanya.

Syeh Muchsin dikenal sebagai seorang ulama yang gigih dalam penyebaran agama Islam. Setelah sukses dalam menyebarluaskan ajaran Islam di masyarakat Supayang, Sijunjung, dan Kubung Tigo Baleh, beliau berangkat ke Mekah untuk menjalankan ibadah haji.

Di Mekah, beliau menemukan kakaknya yang hilang sejak kecil saat mereka bergembala kerbau. Setelah sama-sama menunaikan ibadah haji, Syeh Muchsin berencana untuk pulang ke kampung halamannya bersama kakaknya. Namun, di tengah perjalanan pulang, beliau tertinggal oleh kapal.

Tidak menyerah oleh situasi yang tidak mudah, beliau memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya dengan menumpang sajadah. Setelah tiba di kampungnya, beliau terus berjuang dalam menyebarluaskan ajaran Islam dan memperkuat keberadaannya di masyarakat.

Hingga akhir hayatnya, Syeh Muchsin terus mencoba memperluas penyebaran ajaran Islam dan membawa kesegaran hidup bagi masyarakat Supayang. Ketika beliau meninggal dan dikebumikan di Supayang, tempat tersebut menjadi populer sebagai tempat ziarah dan menunjukkan betapa besar peran beliau dalam mengembangkan agama Islam di sana.

Setelah masyarakat supayang, sijunjung dan seluruh kubuang tigo baleh di islamkan beliau berangkat menuju mekkah disanalah beliau menemukan kakak beliau yang telah lama hilang di waktu bergembala kerbau. Setelah sama-sama melaksanakan ibadah haji beliau dan kakak beliau sama pulang ke supayang. Namun dalam perjalanan beliau di tinggal oleh kapal. Dan menurut sejarahnya beliau pulang dengan menumpang sajadah. Sampai di kampung beliau.

Beliau terus menyebarkan islam sampai akhir hayat beliau. Sampai beliau meninggal dan di kubur di supayang dan sampai saat ini di kenal dengan tampat supayang. Dan setiap waktu tertentu banyak orang yang datang ke sana untuk melaksanakan ziarah. (WR)